Rabu, 10 September 2014

KRISIS MONETER INDONESIA 1997

KRISIS MONETER INDONESIA 1997

Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan Septemer. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden.


1. RINGKASAN

Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan Septemer. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond". Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November. Dan efek terakhir memaksa soeharto untuk mundur.

2. TEMA

Mencari tahu apa yang di maksud kerisis moneter (kerismon). di Indonesia yang sangat membuat perekonomian Indonesia terpuruk selama dua tahun lebih.
3. JUDUL, PENGARANG DAN TAHUN

Kerisis Moneter Indonesia, media indonesia, Tahun 1997

4. ALASAN DAN MASALAH TUJUAN

Ingin mengetahui penyebab terjadinya kerisis dan dampak yang di berikan kepada kita. juga agar terhindar dari dampak yang telah di buat krisis.

5. METODALASI
Data bacaan




6. HASIL DAN KESIMPULAN
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama inilemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utangswasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektorrupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis.
Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting,karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Juga banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.









Krisis Moneter Di Indonesia
krisis moneter di indonesia
Krisis moneter yang dialami Indonesia pada tahun 1998 dan berkepanjangan sampai beberapa tahun sesudahnya mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengambil langkah-langkah kongkrit untuk menurunkan tingkat kemiskinan yang diakibatkan oleh krisis. Meskipun krisis menimpa seluruh Indonesia, tetapi fokus pada waktu itu diletakkan di ibukota Jakarta karena kota ini merupakan barometer krisis yang melanda seluruh negeri.
Studi-studi atas krisis moneter Indonesia menunjukkan bahwa yang paling terpukul keras oleh krisis justru daerah-daerah perkotaan dan bukan daerah pedesaan. Jakarta, kota yang menjadi tujuan banyak orang daerah untuk mencari nafkah, waktu itu terpukul berat. Tiba-tiba saja warga masyarakat yang tadinya mampu membayar sewa tempat tinggal, karena dirumahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja berubah menjadi orang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Walikota Jakarta Selatan pada waktu itu terpaksa menyediakan sejumlah tenda sementara di Taman Puring bagi warga yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Krisis tahun 1998 yang berawal dari krisis moneter berkembang menjadi krisis multi dimensi, dan hampir semua orang Indonesia terkena imbasnya. Puncak dari krisis adalah kerusuhan yang meledak pada tanggal 13 Mei 1998, di mana Kota Jakarta “terbakar” dalam arti fisik maupun non-fisik. Keutuhan kehidupan bangsa Indonesia turut tercabik-cabik oleh krisis yang berlangsung dan ini paling dapat dilihat dengan nyata di Jakarta yang menjadi ibukota Indonesia. Puluhan bahkan ratusan perusahaan, mulai dari yang berskala kecil sampai milik konglomerat bertumbangan. Lebih dari 70 persen perusahaan yang tercatat di pasar modal mengalami kebangkrutan.  
Sektor yang paling terpukul oleh krisis terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur dan perbankan. Terjadi gelombang besar pemutusan hubungan kerja dalam sektor-sektor ini. Pengangguran melonjak ke tingkat yang belum pernah terjadi sejak akhir tahun 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.

Akibat maraknya pemutusan hubungan kerja dan naiknya harga-harga dengan drastis, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan juga meningkat sampai sekitar 50 persen dari keseluruhan populasi penduduk. Rasa panik melanda seluruh warga akibat harga-harga kebutuhan pokok yang tidak menentu. Kepanikan ini lama-kelamaan berkembang dan membuat banyak orang menyerbu toko-toko sembako karena khawatir harga akan terus melonjak. Hal ini selanjutnya malah semakin memicu kenaikan harga yang menggila.

Pendapatan per kapita Indonesia yang sempat mencapai 1.155 dollar/kapita pada tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita pada tahun 1997, anjlok menjadi hanya 610 dollar/kapita pada tahun 1998, dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan bahwa dua dari tiga penduduk Indonesia berada dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999.  Rupiah saat itu terdevaluasi sampai 90% dan pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi – 13,7 persen. Inflasi mencapai 78 persen dan harga-harga makanan melambung sampai sekitar 118 persen.

Krisis moneter terjadi pada tahun 1998, tetapi dampaknya tidak hanya dirasakan pada tahun itu saja melainkan sampai beberapa tahun setelahnya. Penelitian menunjukkan bahwa sesudah krisis moneter tingkat kerawanan terhadap kemiskinan di antara orang Indonesia meningkat tinggi dibandingkan dengan sebelum krisis. Proporsi penduduk Indonesia yang rawan terhadap kemiskinan naik dari kurang dari seperlima sebelum krisis menjadi lebih dari sepertiga sesudah krisis.

Jenis kemiskinan yang paling rawan adalah kemiskinan kronis. Kemiskinan kronis mendapat perhatian khusus dari para pakar dan juga pembuat kebijakan, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bekerja untuk mencapai Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Kemiskinan kronis(chronic poor) dialami oleh mereka yang terperangkap dalam kemiskinan dalam jangka panjang. Di dunia internasional ada standar umum dalam hal kemiskinan, yakni bahwa warga yang miskin adalah mereka yang hidup dengan atau di bawah $ 1 AS per hari. Sementara itu program Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium berupaya untuk mengurangi sampai lima puluh persen jumlah mereka yang hidup di bawah $ 1 AS per hari antara tahun 1990 dan 2015.

Di Jakarta selain kemiskinan kronis, jenis kemiskinan yang ditemukan adalah kemiskinan perkotaan (urban poverty). Tingkat urbanisasi Indonesia seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya terus melaju pesat. Tahun 2025 diperkirakan 65 persen dari penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan. Tidak lama lagi Jakarta akan menjadi sebuah Mega City (kota yang ditinggali oleh penduduk lebih dari 10 juta jiwa). Terbentuknya Mega Citymerupakan kecenderungan yang ditemukan di kota-kota besar di Kawasan Asia Timur dan Pasifik.

Penduduk Kota Jakarta saat ini mencapai sekitar 9,58 juta jiwa. Jumlah ini adalah penduduk yang terdaftar resmi dan mempunyai kartu tanda penduduk. Sementara itu, laju pertambahan penduduk diperkirakan sebesar 1,06 persen. Tingkat kepadatan penduduk kota Jakarta rata-rata 13.000 jiwa per kilometer persegi, walau di Jakarta Pusat mencapai 19.000 jiwa per kilometer persegi. Bila ditambah dengan jumlah penduduk yang tidak terdaftar diperkirakan penduduk Jakarta mencapai sekitar 9,5 juta jiwa. Setiap tahun kota ini menerima 138.000 orang tambahan pendatang baru. Penduduk yang tidak terdaftar ini secara tidak langsung turut memberikan tekanan tambahan pada layanan dasar dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan, dan layanan terkait lainnya di Jakarta.

Jakarta adalah sebuah kota yang memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi. Ini merupakan sesuatu yang wajar karena daerah perkotaaan dapat memberikan peluang kerja dan juga akses kepada layanan-layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang relatif lebih lengkap dibandingkan dengan di pedesaan. Kawasan perkotaan biasanya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan warga yang tinggal di daerah tersebut dengan sendirinya akan menikmati tingkat kesejahteraan yang relatif lebih tinggi daripada di pedesaan.

Meskipun demikian, seperti terlihat pada krisis moneter tahun 1998, penduduk perkotaan ternyata jauh lebih rawan terhadap guncangan ekonomi makro yang berdampak langsung pada kebutuhan tenaga kerja dan peningkatan harga bahan-bahan pokok. Ketika ekonomi makro nasional goyah, perusahaan-perusahaan besar biasanya mengurangi tenaga kerja untuk menghemat ongkos usaha dan demi keberlangsungan jangka panjang usaha. Pokok permasalahan yang dihadapi Kota Jakarta bukan hanya pada besarnya kota tetapi juga pesatnya pertumbuhan kota ini. Kesejahteraan warga kota bergantung pada kemampuan pemerintah kota untuk menyediakan layanan-layanan dasar bagi seluruh warga, mengelola penataan ruang kota dengan baik dan mendorong pertumbuhan ekonomi, sambil pada saat yang sama mengurangi ekses-ekses negatif yang dibawa oleh pertumbuhan kota. 

Kemiskinan perkotaan seperti yang ditemukan di Jakarta mempunyai beberapa ciri khas yang berbeda dengan kemiskinan di pedesaan. Selain menghadapi berbagai ancaman terhadap keselamatan diri dan komunitasnya, kaum miskin perkotaan juga menghadapi tantangan ekonomi yang bersumber dari ketidakpastian tempat tinggal dan guncangan ekonomi makro (seperti krisis moneter 1998). Tambahan pula, meskipun secara fisik berada dekat pusat kekuasaan dan pembuat kebijakan, kaum miskin perkotaaan tidak memiliki akses terhadap penyusunan kebijakan. Selain itu, suara kaum miskin umumnya kurang dipertimbangkan dalam arena penyusunan kebijakan sehingga kebutuhan mereka sering terabaikan.

Ada beberepa sebab terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek yang telah menciptakan “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri dibidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan terhadap hutang yang dibuat oleh sector swasta Indonesia. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Mengapa demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem perdagangan terbuka.
2. Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
3. Tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
4. Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memperbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
5. Miss government.
6. Faktor utama yang menyebabkan krisis moneter tahun 1998 yaitu faktor politik. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat rezim Soeharto hendak tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos) yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia. Pelarian modal besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat daripada pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata (flight for quality). Karena itu, rupiah merosot amat drastis dari level semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level terburuk Rp17.000 per dollar AS (Januari 1998).
8. Banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang yang dibiayai dengan utang jangka pendek, proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan kredit perbankan yang jauh melebihi nilai proyeknya, APBN defisit yang tidak efisien dan efektif, devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri, perbankan yang kurang sehat, jumlah orang miskin dan pengangguran yang relative masih besar, dan seterusnya.
9. Krisis moneter dimulai dari gejala/kejutan keuangan pada juli 1997, menurunnya nilai tukar rupiah secara tajam terhadap valas, diukur dengan dolar Amerika Serikat yang merupakan pencetus/trigger point. Meskipun tidak ada depresiasi tajam baht(mata uang Thailan), Krismon tetap akan terjadi di Negara tercinta ini. Kenapa? karena gejolak sosial dan politik Indonesia yang memanas. Oleh karena itu penyebab krismon 98 bisa dikatakan campuran dari unsur-unsur eksternal dan domestik(J. Soedrajad Djiwandono).
10. Diabaikannya early warning system merupakan penyebab mengapa krismon 97 melanda Inonesia. Adapun early system warningnya adalah: meningkatnya secara tajam deficit transaksi berjalan sehingga pada saat terjadinya krisis, defisit transaksi berjalan Inonesia sebesar 32.5% dari PDB. Utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta yang tinggi. Boomingnya sektor properti dan financial yang mengabaikan kebijakan kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan diperuntukan untuk membiayai proyek-proyek besar yang disponsori pemerintah dan tidak semua proyek besar itu visibel. Tata kelola yang buruk(bad governence) dan tingkat transpalasi yang rendah baik sektor publik maupun swasta(Marie Muhamad).
11. Argument bahwa pasar financial internasional tidak stabil secara inheren yang kemudian mengakibatkan buble ekonomi dan cenderung bergerak liar. Bahkan sejak tahun 1990-an pasar financial lebih tidak stabil lagi. Hal ini dikarenakan tindakan perbankan negara-negara maju menurunkan suku bunga mereka. Sehingga mendorong dana-dana masuk pasar global. Maka pada tahun 1990-an dana asing melonjak dari $9 Miliar menjadi lebih dari $240 Miliar.
12. Kegagalan manajemen makro ekonomi tercermin dari kombinasi nilai tukar yang kaku dan kebijakan fiskal yang longgar, inflasi yang merupakan hasil dari apresiasi nilai tukar efectif riil, deficit neraca pembayaran dan pelarian modal.
13. Kelemahan sector financial yang over gradueted, but under regulete dan masalah moral hazar.
14. Semakin membesarnya cronycapitalism dan sistem politik yang otoriter dan sentralistik(M. Fadhil Hasan). Jika diartikan secara ekonomis teknis, krisis bisa disebut sebagai titik balik pertumbuhan ekonomi yang menjadi merosot. Dan penyebabnya jika ditinjau dari teori konjungtur, ada dua karakteristik krisis 1). krisis disebabkan tidak sepadannya kenaikan konsumsi ketimbang kenaikan kapasitas produksi atau underconsumption crisis. 2). Krisis disebabkan terlampau besarnya investasi yang dipicu modal asing karena tabungan nasional sudah lebih dari habis untuk berinvestasi. Krisis seperti ini disebut overinvestment, dan ini yang terjadi di Indonesia(Kwik Kian Gie). Begitulah beberapa penyebab krismon 98 di Indonesia, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang.
NB: “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
III. Kebijakan Pemerintah Mengatasi Krisis
Kebijakan ekonomi dengan berbagai dampak negatif sebagaimana uraian diatas, secara serius telah diupayakan diatasi dengan melaksanakan kebijakan ekonomi, baik makro maupun mikro. Dalam jangka pendek kebijakan ekonomi pemerintah sejak masa krisis dimaksudkan memiliki dua sasaran strategis, yakni pertama : mengurangi dampak negatif krisis terhadap masyarkata berpendapatan rendah dan rentan, dan kedua : pemulihan pembangunan ke jalur semula.
Upaya-upaya yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam rangka memulihkan perekonomian negara dari dampak krisis moneter 1998 diatas diuraikan sebagai berikut :
A. Kebijakan Ekonomi Makro
Kebijakan ekonomi makro yang telah dilaksanakan pemerintah dalam upaya menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing adalah melalui kebijakan moneter yang ketat disertai anggaran berimbang, dengan membatasi anggaran sampai pada tingkat yang dapat diimbangi dengan tambahan dana dari pinjaman luar negeri, seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) walaupun pada akhirnya sebagian dana BLBI tesebut ditemukan banyak penyimpangan dalam penggunaannya. Kebijakan moneter yang ketat dengan tingkat bunga yang tinggi selain dimaksukan untuk menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, juga dimaksudkan untuk menahan permintaan aggregate dan mendorong masyarakat untuk meningkatkan tabungan di lembaga perbankan, sehingga dalam hal ini dibutuhkan deregulasi aturan perbankan yang ketat agar masyrakat si pemilik dana mempunyai kepercayaan terhadap bank.
Meskipun demikian pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa tingkat bunga yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan ekonomi dan bersifat kontradiktif terhadap PDB. Oleh karena itu, tingkat suku bunga yang tinggi tidak akan selamanya dipertahankan, tetapi akan diturunkan secara sewajarnya sampai ke level lajimnya seiring dengna menurunya laju inflasi. Mekanisme pemberian suku bunga yang tinggi untuk penyimpanan dana oleh nasabah merupakan langkah-langkah yang ditempuh pemerintah sejak krisis moneter, hal ini dimaksudkan untuk menarik minat masyarakat menyimpan dananya di bank, sehingga bank mempunyai modal yang cukup untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman (kredit).
B. Kebijakan ekonomi Mikro
Kebijakan ekonomi mikro yang ditempuh pemerintah adalah dengan mengangkat kembali sektor-sektor usaha kecil – menegah masyarakat (pelaku usaha) dengan mekanisme pemberian pinjaman dana dengan prioritas bunga yang rendah. Tujuan pemerintah mengambil langkah ini dimaksudkan untuk :
1. Untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpenghasilan rendah dengan dikembangkannya jaringan pengaman sosial yang meliputi penyediaan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dan kesehatan pada saat krisis, serta penanganan pengangguran dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah dalam mengatasi pengangguran saat krisis moneter adalah dengan mencanangkan dan atau membuat program padat karya untuk menampung tenaga kerja produktif.
2. Menyehatkan sistem lembaga perbankan dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan Indonesia. Upaya ini diwujudkan oleh pemerintah dengan mencari dana talangan yang dipinjamkan ke bank-bank yang mengalami krisis saldo-debet, sehingga dapat bertahan dari arus krisis. Pemerintah pun melalui Bank Setral (Bank Indonesia) memberikan kucuran dana ke bank-bank swasta yang diperoleh melalui pinjaman luar negeri.
3. Merestrukturisasi hutang luar negeri. Tindakan ini dimaksudkan pemerintah untuk memprioritaskan pendanaan-pendanaan yang sangat urgen terhadap perkembangan ekonomi untuk mengatasi krisis yang ada, sehingga dengan adanya restrukturisasi utang maka pemerintah dapat melakukan penundaan pembayaran utang luar negeri Indonesia.
4. Mereformasi struktural di sektor rill, dan
5. Mendorong ekspor.
C. Upaya-Upaya Pemulihan Ekonomi
1. Jaringan Pengaman Sosial
Dalam kaitan ini sejak krisis moneter 1998 pemerintah telah mengambil langkah-langkah dengan menambah alokasi anggaran rutin (khususnya untuk subsidi bahan baker minyak, listrik, dan berbagai jenis kebutuhan makanan pokok), dilakukannya usaha untuk mempertajam sasaran alokasi anggaran dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan. Hal ini dilakukan melalui peninjauan kembali terhadap kegiatan dan proyek pembangunan, antara lain dengan :
a) Menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak
b) Melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan dna kesehatan.
c) Memperluas, penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan, irigasi,
d) Memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus meningkatkan peranan pengusaha kecil, menengah dan koeperasi.
Sebagai akibat dari peninjauan kembali seluruh program dan proyek pembangunan, total anggaran meningkat secara tajam sejak krisis moneter tahun 1998. Sebagai implikasi dari jaringan pengaman sosial ini, yagn disertai penyesuaian untuk mempertajam alokasi dan peningkatan efisiensi anggaran pembangunan, pemerintah tidak dapat menghindari terjadinya defisit yang sangat besar, lebih kurang pada masa itu 8,5 persen terhadap PDB, dalam revisi APBN tahun 1998/99. Pemerintah sangat menyadari bahwa defisit anggaran sebesar 8,5 persen terahdap PDB tidak suistanable, itulah sebabnya mengapa diupayakan penurunan anggaran minimal pada tahun 1999/2000 dan bertujuan pula untuk melakukan pengimbangan anggaran untuk masa 3 tahuan kemudian (tahun 2003).


I.                   Latar Belakang

Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi yang berdampak buruk pada Negara dan rakyatnya. Krisis ini terjadi dari awal 1998. Sejak era orde baru mulai terlihat kondisi Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Tingginya krisis ekonomi ini diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas infalsi, terjadi penurunan tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri karena ada factor politik yaitu penurunan presiden suharto, terhambatnya pertumbuhan ekonomi, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerj seara besar besaran, tingkat kemiskinan naik 50%.



II.               PERKEMBANGAN
            Perkembangannya sejauh ini sudah menginjak angka baik karena usaha pemerintah menrik lagi modal asing untuk dating ke Indonesia dan

III.          DAMPAK  

  1. Terjadi pemutusan hubungan kerja besar besaran karena persusahaan tidak dapat mengasih upah pekerjanya
  2. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun 13,7%
  3. Puluhan bahkan ratusan perusahaan, mulai dari yang berskala kecil sampai milik konglomerat bertumbangan. Lebih dari 70 persen perusahaan yang tercatat di pasar modal mengalami kebangkrutan.  
  4. harga-harga kebutuhan pokok yang tidak menentu.
  5. kurs nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah tetap.
  6. krisis itu terjadi banyak pejabat yang melakukan korupsi. Sehingga mengurangi pendapatan para pekerja yang lain
  7. harga bbm naik



IV.             Pembahasan Masalah

A.    Hal-hal yang terjadi saat krisis moneter.

1.      Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam.
2.      Faktor utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang berat karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistem perbankan nasional yang melemah.
3.      Krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret-Juni 1997, yang diserang duluan oleh spekulan dan kemudian menyebar ke Negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Krisis Moneter yang terjadi sudah saling kait-mengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain.
4.      Banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.
5.      Faktor utama yang menyebabkan krisis moneter tahun 1998 yaitu faktor politik. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat rezim Soeharto hendak tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim Soeharto sehingga harus disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos) yang mengakibatkan pemilik modal dan investor kabur dari Indonesia. Pelarian modal besar-besaran (flight for safety) karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat daripada pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata (flight for quality). Karena itu, rupiah merosot amat drastis dari level semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi level terburuk Rp17.000 per dollar AS (Januari 1998).
6.      Kegagalan manajemen makro ekonomi tercermin dari kombinasi nilai tukar yang kaku dan kebijakan fiskal yang longgar, inflasi yang merupakan hasil dari apresiasi nilai tukar efektif riil, defisit neraca pembayaran dan pelarian modal.



V. USAHA PEMERINTAH
  1. mengurangi dampak negatif krisis terhadap masyarkata berpendapatan rendah dan rentan
  2. pemulihan pembangunan ke jalur semula.
  3. menekan laju inflasi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap valuta asing (kebijakan ekonomi makro
  4. mengangkat kembali sektor-sektor usaha kecil – menegah masyarakat (pelaku usaha) dengan mekanisme pemberian pinjaman dana dengan prioritas bunga yang rendah. (kebijakan ekonomi mikro
  5. Menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak
  6. Memperluas, penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan, irigasi,
  7. Memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus meningkatkan peranan pengusaha kecil, menengah dan koeperasi.


Kebijakan - kebijakan ekonomi mulai diambil ketika krisis ini mulai muncul. Kebijakan secara makroekonomi Langkah kebijakan itu difokuskan untuk mengembalikan kestabilan mikroekonomi dan membangun kembali infrastruktur ekonomi, khususnya dibidang perbankan dan dunia usaha (Makalah Bank Indonesia : Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Indonesia). Kebijakan yang terfokus pada dua hal tersebut sangat tepat untuk diambil, seperti yang diketahui krisis moneter yang terjadi sudah sangat menyerang perekonomian secara keseluruhan sekaligus menyerang sector - sektor badan usaha. Secara umum langkah yang diambil dalam mengatasi masalah krisis moneter ini berpijak pada empat bidang pokok (Makalah Bank Indoensia : Peran Kebijakan Moneter dan Perbankan Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Indonesia) :
a.            Di bidang Moneter, ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju inflasi dan penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal secara berlebihan.
b.            Di bidang Fiskal, ditempuh dengan kebijakan yang terfokus pada upay relokasi pengeluaran-pengeluaran untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
c.             Di bidang Pengelolaan (governance), ditempuh dengan berbagai kebijakan untuk penngelolaan baik di sector public atau swasta
d.            Di bidang Perbankan, ditempuh dengan berbagai kebijakan untuk mengurangi kelemahan dunia perbankan.
Secara umum kebijakan-kebijakan yang diambil untuk mengatasi sekaligus mencegah terjadinya krisis monter di kemudian hari. Secara khusus kebijakan yang diambil ketika krisis moneter terjadi dengan cara mengupayakan stabilisasi dan pemulihan kegiatan ekonomi, pemerintah telah menempuh beberapa kebijakan dari sisi permintaan maupun penawaran (Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999). Di sisi permintaan perlu menjadi perhatian khusus karena permintaan domestik mengalami kontraksi sebesar 17,6%, dengan sumbangan terhadap kontraksi PDB sebesar 18,4% kebijakan yang ditempuh diarahkan untuk memulihkan kegiatan investasi, perdagangan, serta mengurangi dampak negatif krisis terutama terhadap golongan masyarakat miskin (Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999). Penurunan permintaan domestic ini berimbas pula pada penurunan konsumsi rumah tangga akibat daya beli masyrakat yang turun. Hal ini yang berimbas pada semakin banyaknya masyrakat miskin sehingga dalam kebijakan permintaan difokuskan pula pada masyarakat miskin untuk mengurangi dampak-dampak yang akan ditimbulkan dari krisis monter ini. Penurunan investasi yang disebabkan banyak faktor. Dua faktor utama adalah penurunan kepercayaan atas daya serap pasar domestic dan perusahaan yang mengalami kesusahan dalam pembiayaan sehingga tidak sempat untuk melakukan investasi. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan investasi dengan menghapuskan bea masuk unruk beberapa jenis barang modal dan menerapkan kebijakan tas holiday (Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999).Hal ini untuk memudahkan perusahaan untuk melakukan produksi barang semakin banyak perusahaan yang mulai berproduksi semakin tinggi pla tingkat investasi yang terjadi. 

Di sisi penawaran, Di sisi penawaran, kebijakan yang ditempuh lebih bersifat structural untuk membantu pemulihan kinerja sektor perbankan dan dunia usaha. Upaya untuk meredam tekanan inflasi dilakukan melalui kebijakan moneter yang ketat dan pemulihan sisi pasokan terutama melalui penyediaan dan perluasan kredit program serta perbaikan sistem distribusi. Pemulihan inflasi dari sisi penawaran berkaitan pada perluasan pemberian kredit kepada bank-bank umum sehingga memudahkan pengusaha kecil untuk menminjamkan dana dalam proses produksi. Dalam upaya pemenuhan pasokan kebutuhan yang mengalami penurunan pemerintah memperbaiki dari sisi distribusi (Laporan Tahunan Bank Indonesia 1998/1999)  dimana dengan mengurangi monopoli suatu badan dalm pengadaan pesokan dan membuka kepada badan lain seperti koperasi untuk pemenuhan kebutuhan pokok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar